Selasa, 04 Oktober 2011

Perkembangan Koperasi di Indonesia


Perkembangan Koperasi di Indonesia

Di Indonesia, lahirnya koperasi dilatarbelakangi adanya solidaritas terhadap rakyat yang terlilit hutang pada rentenir, atas inisatif R. A. Wiriaatmadja patih Purwokerto pada tahun 1896, didirikan koperasi simpan pinjam. Semangat solidaritas, kekeluargaan dan kegotongroyongan secara turun-temurun merupakan budaya Bangsa Indonesia sejak dulu. Kegiatan tersebut dapat dijumpai di berbagai daerah di antaranya Arisan (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Paketan, Mitra Cai dan Ruing Mungpulung (Jawa Barat), Mapalus (Sulawesi Utara), kerja sama pengairan Subak (Bali), dan Julo Julo (Sumatra Barat), merupakan sifat hubungan sosial non profit yang dijadikan azas koperasi Indonesia.

Perkoperasian mengalami metamorfosis dari waktu ke waktu. pada masa kebangkitan Nasional pertama (1908), tumbuhnya kesadaran akan pentingnya kesejahteraan dan pendidikan, melatarbelakangi perkumpulan Budi Utomo mendirikan koperasi rumah tangga, yang dipelopori oleh Dr. Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo. Pada masa kolonialisme Belanda koperasi dijadikan sebagai alat politik pecah belah dengan dikeluarkannya UU koperasi tahun 1915, yang disebut “Verordening op de Cooperative Vereenigingen” yakni UU tentang perkumpulan koperasi yang berlaku untuk segala bangsa, jadi bukan khusus untuk Indonesia saja, yang menimbulkan dualisme pembinaan perkoperasian di Indonesia. Walaupun pada tahun 1927 dikeluarkan UU no. 23 tentang peraturan-peraturan koperasi, namun UU ini tidak berjalan secara efektif karena campur tangan politik kolonialisme Belanda.

Pada masa kebangkitan Nasional kedua, dengan semangat kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi, PNI (1929) di bawah pimpinan Ir. Soekarno mendirikan koperasi dikalangan pemuda, pada masa ini gerakan koperasi dijadikan sebagai alat perjuangan bangsa. Pada masa pendudukan Jepang (1942) keadaan perkoperasian di Indonesia mengalami kerugian yang besar, disebabkan pemerintah Jepang mencabut UU no. 23 dan menggantikannya dengan Kumiai (koperasi model Jepang) yang merupakan alat untuk mengumpulkan hasil bumi dan barang-barang kebutuhan Jepang.

Pada masa kemerdekaan, DR. H. Moh Hatta memasukkan rumusan perkoperasian di dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 1, dimana koperasi dijadikan sebagai salah satu soko guru perekonomian Indonesia. Koperasi di Indonesia mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya, sejak saat itu diperingati secara nasional sebagai hari koperasi sampai saat ini. Pada masa demokrasi terpimpin (orde lama) koperasi ditempatkan pada fungsi dan perannya sebagai abdi langsung politik dan mengabaikan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat. Pada masa orde baru dikeluarkan UU Koperasi No.12/ 1967, yang menempatkan peran pemerintah pada fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus. Sehingga memunculkan istilah koperasi program atau kapitalisasi koperasi, akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya. Untuk mengembalikan fungsi koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat diterbitkan UU No. 25/ 1992 tentang perkoperasian, yang menempatkan koperasi sebagai badan usaha, namun sampai saat ini dengan jumlah koperasi sebanyak 175.102 unit dan jumlah anggota sebanyak 29.234 juta, belum memberikan kontribusi yang berarti bagi perekonomian nasional dibandingkan dengan BUMN dan BUMS.



Perkembangan koperasi di Indonesia berbanding terbalik dibandingkan dengan negara-negara kapitalis liberal, yang tidak memiliki UU koperasi dan Menteri Koperasi, beberapa di antaranya memiliki koperasi yang memberikan sumbangan cukup berarti pada perekonomian nasionalnya, khususnya dalam bentuk sumbangan pada PDB, yaitu sebesar 21% di Finlandia, 17,5% di Selandia Baru, 16,4% di Swiss dan 13% di Swedia.

Perkembangan koperasi yang lambat di Indonesia disebabkan koperasi masih ditempatkan pada azas dan gerakan koperasi semata. Belum diarahkan pada koperasi sebagai suatu sistem ekonomi modern secara simultan, yaitu koperasi untuk mencapai tujuan ekonomi bersama (to achieve a common economic end). Secara internal, prinsip one man one vote dijadikan dasar pengambilan keputusan didalam RAT, hal ini secara tidak langsung akan mengurangi partisipasi anggota, karena anggota yang mempunyai kontibusi yang besar terhadap koperasi akan mempunyai suara yang sama dengan anggota yang bahkan tidak berkontribusi. Permodalan juga merupakan salah satu kendala bagi koperasi, penempatan koperasi sebagai badan usaha tentunya akan memerlukan modal dalam menjalankan usahanya. Namun pemilik modal tidak mendapatkan tempat dalam pengambilan keputusan kebijakan koperasi di RAT. Dikarenakan sumber modal dalam koperasi tertuang sebagai kewajiban (simpanan pokok dan wajib) saja, menyebabkan anggota tidak berminat menanamkan modalnya dalam koperasi.

Penggabungan antara prinsip kontribusi anggota dan modal sebenarnya telah tertuang dalam pengertian koperasi menurut ILO (International Labour Organization), diantranya koperasi merupakan organisasi perusahaan yang dikendalikan secara demokratis (democratically controlled business organization), kontribusi yang adil terhadap modal yang diperlukan (equitable contribution to the capital required) dan menanggung resiko dan menerima bagian keuntungan secara adil (a fair share of the risk and benefits of the undertaking). Penggabungan prinsip tersebut dapat meningkatkan partisipasi dan permodalan, sehingga anggota dengan kontribusi tinggi dan modal besar secara proporsional mendapatkan haknya. Kemampuan manajerial yang profesional diperlukan untuk membangun koperasi yang beraksebilitas dan berdaya saing tinggi dalam menghadapi persaingan pasar bebas. Hal ini memerlukan standarisasi profesi (sertifikasi) bagi menajer maupun pengelola usaha koperasi secara nasional.

Secara eksternal, koperasi perlu mendapat tempat dalam penentuan konstelasi kebijakan nasional. Dispersi kebijakan pengembangan koperasi dan UKM secara tersendiri, menyebabkan pengembangan koperasi akan kehilangan arah. Pengembangan UKM secara tersendiri akan menciptakan kapitalisme kecil, yang manfaatnya hanya dinikmati oleh segelintir UKM saja. Hal ini tidak efektif dan efisien dikarenakan jumlah UKM yang lebih banyak dibanding dengan koperasi. Kebijakan pengembangan koperasi secara terintegrasi, akan mengembangkan UKM sebagai anggota koperasi, sehingga merangsang UKM lainnya untuk bergabung dalam wadah koperasi, yang pada akhirnya secara bersama-sama koperasi sebagai badan usaha akan berkembang, demikian juga UKM sebagai anggota koperasi. Hal ini akan mewujudkan koperasi sebagai wadah ekonomi kerakyatan atau koperasi sebagai suatu sistem ekonomi (cooperativsm), yaitu koperasi yang bermanfaat bagi ekonomi anggotanya, masyarakat dan ekonomi nasional.

Sebanyak 30% dari 138.000 koperasi di Indonesia hingga kini belum aktif. Salah satu penyebabnya, koperasi kekurangan modal untuk mengembangkan usaha (Adi Sasono, 2007).
Dari sisi volume usaha pun, perkoperasian di Indonesia juga masih sangat rendah. Saat ini baru 22% dari masyarakat Indonesia yang sudah dewasa tergabung dalam koperasi. Persentase ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kondisi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Singapura.
Di AS, sebanyak 70% warganya yang sudah dewasa tergabung dalam koperasi. Adapun di Singapura persentasenya lebih tinggi, yakni 80%. Kondisi tersebut berpengaruh pada volume usaha koperasi di Indonesia yang saat ini, hanya sekitar Rp55 triliun per tahun.
Jika ditelisik sejarahnya, lembaga perekonomian rakyat bernama koperasi ini sudah melembaga sejak negeri ini masih ada pada era penjajahan Belanda.
Ide-ide perkoperasian yang diperkenalkan pertama kali oleh R. Aria Wiraatmadja, Patih di Purwokerto, Jawa Tengah (1896), ini diteruskan semangatnya oleh Budi Utomo (1908), Serikat Dagang Islam (1927), Partai Nasional Indonesia (1929) di mana ketiganya turut mengemban perjuangan penyebarluasan semangat koperasi.
Praktis, koperasi pun digunakan sebagai sarana ekonomi dalam konsep perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan, koperasi dijadikan sebagai model pembangunan ekonomi Indonesia. Posisinya dikukuhkan dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1. Koperasi menjadi sarana perjuangan pembangunan, diberi motivasi, visi dan misi.
Namun, Dekret Presiden untuk kembali ke UUD 1945 tahun 1959, telah menjadikan koperasi bergeser menjadi sarana politik pemerintah (Nasakom). Akibatnya, rusaklah koperasi sebagai lembaga pembangunan ekonomi rakyat. UU Koperasi Nomor 79/1958 diganti UU Nomor 14/1965 yang berorientasi pada politik.
Dasar hukum silih berganti demi kepentingan politik. Selama Orde Baru, tujuan pembangunan ekonomi adalah stabilitas, pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, dan asas pemerataan. Sehingga tak heran, setiap kali menginventarisasi jumlah koperasi, jumlahnya diwajibkan meningkat.
Penguasa saat itu selalu minta untuk menunjukkan terjadinya peningkatan. Inilah tolok ukur kemajuan bangsa. Penurunan jumlah koperasi hanya akan memperlihatkan kemunduran bangsa (Ibnoe Soejono, 2007).
Selama Orde Baru, kebijakan swasembada beras menjadi bagian strategis. Peran koperasi unit desa (KUD) sangat penting dan ikut menentukan keberhasilan politik. Apalagi, didukung penyuluhan pertanian, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa, penyediaan sarana produksi (pupuk dan bibit), dan pemasaran (Bulog) dalam pola Catur Sarana Usaha Pertanian.
Dualistik
Kemudian, terciptalah kondisi dualistik dan proses pembinaannya menjadi top-down. Koperasi mengalami krisis jati diri, yang bersumber pada krisis nilai, kepemimpinan, dan kepercayaan.
Pada era reformasi, koperasi makin mengalami pergeseran jati diri. Koperasi seharusnya menjadi people based association, tetapi ternyata menjadi capital based association. Bukan lagi mementingkan peningkatan hidup rakyat, melainkan ukurannya adalah modal usaha yang harus berkembang dan menguntungkan.
Selama ini kita cenderung bersikap paradoksal. Bicara terus-menerus mengenai prosedural, tanpa memiliki sistem perlindungan. Kita bicara manajemen koperasi, tetapi kenyataannya menggunakan capital based yang merancukan koperasi. Kita bicara kerja sama sebagai modal sosial, tetapi kita cenderung egois. Kita bicara koperasi, tetapi tindakan-tindakan kita justru menyerupai kapitalis.
Memang betul, koperasi membutuhkan dana. Namun, kelemahan manajemen justru memorak-porandakan eksistensi koperasi. Koperasi yang seharusnya menjadi simbol kekuatan rakyat, dalam perjalanannya justru penuh kegagalan dan kekecewaan. Bahkan, setelah kejatuhan Orde Baru dan dalam krisis ekonomi, nasib koperasi pun kian terpuruk.
Kondisi inilah yang rupanya membuat sebagian kalangan tidak menganggap perlu koperasi dipertahankan keberadaannya dalam perekonomian Indonesia. Kepercayaan mereka bahwa koperasi dapat berfungsi dengan baik dalam melayani kebutuhan anggota pupus.
Mereka pun yakin bahwa koperasi adalah organisasi yang tidak efisien, dan koperasi akan tetap kerdil untuk selama-lamanya, sehingga lembaga ini dipandang layak dibubarkan.
Wacana bubar-membubarkan pun tak hanya menimpa lembaga ekonomi bernama koperasi. Bahkan, terhadap kementerian yang selama ini mengurusi koperasi pun pernah diwacanakan untuk dibubarkan.
Hal ini sempat mengemuka dalam rapat dengar pendapat membahas Rancangan Undang-Undang UMKM di Komisi VI DPR, 2 tahun lalu. Pendapat yang bergulir menyatakan bahwa program pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah dilaksanakan sejumlah departemen dan BUMN.
Posisi Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) dipandang sama dengan departemen lain, sehingga diusulkan Kemenkop dan UKM untuk dihapus.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, betulkah membubarkan lembaga koperasi dan menghapus kementerian terkait (yakni Kemenkop dan UKM) merupakan langkah tepat menyelamatkan perekonomian Indonesia?
Memang, potret-potret kegagalan koperasi tak bisa kita tutup-tutupi. Namun sudahkah kita berpikir secara cermat, sesungguhnya apa yang menjadi penyebab keterpurukan koperasi sehingga solusi yang kita tarik sebenarnya tak harus dengan membubarkannya?
Berdasarkan pengamatan, keterpurukan koperasi bukan karena kesalahan kaidah-kaidah koperasi, melainkan lebih kepada adanya penyimpangan-penyimpangan dari kaidah koperasi. Dan penyimpangan-penyimpangan tersebut yang bersifat fundamental.
Penyimpangan tersebut antara lain pendirian koperasi berdasarkan kebutuhan anggota yang tidak jelas, sehingga core business koperasi tidak jelas; tidak memiliki kriteria keanggotaan yang jelas, yaitu berdasarkan kemampuan memodali dan melanggani, sehingga koperasi mengalami kesulitan permodalan dan kesulitan mempertahankan omzet.
Lalu pendirian unit usaha yang tidak memenuhi kelayakan usaha, karena kebutuhan anggota yang tidak jelas dan kriteria anggota yang juga tidak jelas; hak-hak anggota (yaitu hak menyatakan pendapat, hak memilih yang bebas, hak mengawasi) yang terbelenggu oleh dominasi pengurus.
si masih sukar dikembangkan.
6)    Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan reposisi peran koperasi yang secara mandiri dilakukan oleh koperasi dan pengusaha kecil. Keikutsertaan pemerintah dalam program ini dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator, melalui suatu mekanisme yang menempatkan koperasi dan usaha kecil sejajar dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dan perusahaan milik pemerintah. Strategi tersebut merupakan langkah yang perlu diLempuh berdasarkan pemikiran bahwa dengan program ini memungkinkan  permasalahan yang dihadapi koperasi dapat ditangani sekangus. Dalam hal ini, selain koperasi memiliki kesempatan untuk eksis dalam usaha-usaha yang selama ini seakan "diharamkan" untuk koperasi, seperti dalam pengelolaan hutan dan ekspor/impor. Program ini juga sekaligus juga dapat membuktikan bahwa koperasi dan usaha kecil mampu berperan sebagai kelembagaan yang menopang pemberdayaan ekonomi rakyat dalam sistem ekonomi kerakyatan. 

1 komentar: